Pengguna Narkotika Mulanya Perokok

Jakarta, Kompas – Penggunaan narkotika umumnya diawali dari kebiasaan merokok. Karena pengaruh rokok dirasa makin berkurang, sebagian perokok berpindah ke ganja dan morfin. Penggunaan morfin dengan jarum suntik membuat jumlah penderita HIV/AIDS kian besar.

”Perang melawan narkotika dan HIV/AIDS yang ditularkan melalui jarum suntik sulit berhasil selama peredaran rokok tak dibatasi,” kata Hakim Sorimuda Pohan dari Jaringan Kerja Pengendalian Masalah Tembakau Indonesia (Indonesian Tobacco Control Network) di Jakarta, Rabu (8/2).

Sifat adiksi tembakau membuat dosis yang dibutuhkan perokok untuk merasa tenang akan terus bertambah dari hari ke hari. Sensitivitas otak untuk mengeluarkan dopamin yang membuat seseorang nyaman dan bahagia makin lama makin kurang. Saat inilah, perokok berpindah ke narkotika untuk mendapatkan efek serupa.

Meski dampak rokok bagi kesehatan masyarakat sangat besar dan Mahkamah Konstitusi sudah menegaskan tembakau sebagai zat adiktif sesuai Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hingga kini pemerintah belum serius membatasi rokok dengan mengesahkan rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan Indonesia.

”Padahal, RPP yang merupakan amanat UU Kesehatan itu seharusnya sudah disahkan tahun 2010,” kata Ketua Tobacco Control Support Center, Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Alex Papilaya.

Kondisi itu dinilai Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia sebagai ketidakpedulian pemerintah untuk melindungi kesehatan warga. ”Pemerintah mencontohkan untuk tidak patuh kepada hukum,” ujarnya.

Pemerintah juga wajib melindungi konsumen rokok dari informasi yang tidak utuh. Dampak kesehatan rokok sangat nyata, tetapi iklan rokok yang gencar membuat konsumen tersamarkan dari dampak buruknya.

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Kartono Mohamad membantah keyakinan sebagian orang bahwa pengaturan rokok akan merugikan petani, perusahaan rokok kecil, dan pedagang hingga menimbulkan lonjakan penganggur. ”Tidak ada negara yang mengatur rokok dengan ketat maka petaninya mati,” ujarnya.

Sejak dulu, sebelum RPP ada, banyak perusahaan rokok kecil tutup akibat tidak mampu bersaing dengan perusahaan rokok besar. Petani tembakau sulit sejahtera karena terjerat tengkulak dan adanya impor tembakau dari Amerika Serikat dan China oleh perusahaan rokok besar.

Pembatasan rokok tidak akan mengurangi pendapatan negara. Selama ini cukai yang dibayarkan perusahaan rokok sejatinya dibayar oleh konsumen Sumbangan industri rokok terhadap ekonomi nasional relatif kecil.

Koordinator Pengembangan Peringatan Kesehatan Berbentuk Gambar, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Widyastuti Soerojo, menegaskan, RPP tidak melarang orang merokok, tetapi membatasi perokok agar racun rokok tidak menyebar ke masyarakat bukan perokok.

”Aturan ini tidak akan membuat pabrik rokok tutup atau petani tembakau mati. Perokok akan tetap ada karena sulit menghentikan kebiasaan merokok akibat zat adiktif yang dikandungnya,” ujarnya. (MZW)

Sumber : Kompas Cetak

Print Friendly, PDF & Email
line