Perokok dan Asuransi Kesehatan

Perokok dan Asuransi Kesehatan
Senin, 13 Februari 2012 19:21 WIB

Merokok sudah jelas merupakan perilaku yang membawa risiko gangguan kesehatan yang penanganannya memerlukan biaya yang besar. Beberapa waktu yang lalu di lingkungan kantor Menko Kesra mempertanyakan, kalau Sistem Jaminan Sosional Nasional (SJSN) berlaku dan semua orang terlindungi asuransi. Jika penyakit akibat rokok juga dijamin, maka keuangan BPJS akan jebol. Terlalu besar biaya yang akan keluar untuk mengobati penyakit akibat rokok. Maka di antara para petinggi timbul berbagai gagasan.

Gagasan pertama, perokok harus dikenakan premi yang lebih tinggi. Gagasan ini akan menghadapi kendala administrasi yang rumit kalau setiap warga negara Indonesia wajib terlindungi asuransi kesehatan seperti amanat undang-undang Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Harus ada pendataan siapa yang perokok dan siapa yang bukan. Gagasan kedua adalah, penyakit akibat rokok tidak dijamin oleh asuransi. Gagasan ini menimbulkan reaksi pro dan kontra. Yang kontra mengatakan bahwa hal itu akan melanggar prinsip “universal coverage”. Kalau begitu, maka penyakit menular seksual, yang terjadi akibat perilaku seks yang tidak sehat, juga diperlakukan sama. Bagaimana pula dengan korban kecelakaan lalu-lintas akibat ngebut.

Gagasan ketiga mengusulkan agar harga rokok dikenakan tambahan (“surcharge”) sebesar Rp100 per bungkus sebagai premi asuransi kalau terkena penyakit akibat rokok. Analoginya, seperti penumpang sarana transportasi umum yang juga harus membayar tambahan untuk asuransi kecelakaan. Gagasan ini terasa menarik karena selain “masuk akal” juga membuka ide untuk membuat asuransi khusus.

Bisnis baru

Gagasan seperti ini akan disambut gembira oleh perusahaan asuransi. Bayangkan,sekarang ini dalam setahun rakyat Indonesia mengonsumsi 260 miliar batang rokok, atau 13 miliar bungkus (kalau per bungkus berisi 20 batang). Dengan “surcharge” Rp100 rupiah, dalam setahun dengan mudah perusahaan asuransi akan mengumpulkan Rp1,3 triliun. Jumlah itu dapat diandalkan akan stabil atau malah selalu meningkat karena perokok sudah kecanduan, sehingga akan selalu membeli rokok.

Uang itu akan nyaris utuh karena santunan yang diberikan kepada perokok yang sakit akan kecil. Bukan karena jumlah perokok yang sakit tidak banyak, tetapi sebagian besar perokok di Indonesia adalah kalangan tidak terdidik dan kalangan miskin. Banyak yang tidak tahu bahwa penyakit yang diidapnya berkaitan dengan kebiasaannya merokok. Kalaupun mengetahui mereka tidak tahu prosedur meminta santunan ketika sakit. Apapula kalau sampai mati, keluarganya kemungkinan besar juga tidak tahu. Orang Indonesia biasanya tidak mau repot mengurus klaim, apalagi kalau perusahaan asuransi cukup pintar, sehingga persyaratan menuntut klaim memerlukan proses yang berbelit.

Sungguh prospek bisnis yang menggiurkan. Di sisi lain, industri rokok juga senang karena berbeda dengan negara lain, dengan adanya asuransi semacam itu mereka akan terbebas dari tuntutan sebagai penjual penyebab penyakit. Bahkan mungkin akan bekerja sama dengan perusahaan asuransi makin menggalakkan agar makin banyak orang merokok. Akan menguntungkan bagi keduanya.

Insentif

Lalu bagaimana kelak BPJS menghindari kebangkrutan akibat terlalu besar menyantuni penyakit akibat rokok? Pengelola Medicaid (semacam Jamkesmas) di Massavhusetts, Amerika Serikat, memberikan insentif bagi perokok yang mau mengikuti program berhenti merokok. Mereka akan mendapatkan uang pengganti sebesar 3 dollar AS untuk setiap 1 dollar AS yang mereka keluarkan untuk itu. Ternyata terjadi penurunan jumlah peserta yang memerlukan perawatan karena penyakit akibat rokok, sehingga terjadi penghematan sebesar 571 dollar AS per orang. Sementara dana yang keluar untuk insentif hanyalah 183 dollar AS per orang.

Insentif juga dapat diberikan kepada dokter. Yaitu dokter yang aktif melakukan pendidikan dan konseling kepada klien yang diasuhnya, sehingga mereka tidak lagi merokok atau melakukan aktivitas yang membawa risiko terkena penyakit, mendapatkan tambahan sejumlah uang. Dengan demikian dokter diharapkan akan makin berusaha untuk melakukan kegiatan preventif. Cara ini barangkali yang cocok untuk Indonesia kalau jaminan dengan SJSN sudah berlaku kelak di tahun 2014. Para pejabat dan perusahaan asuransi swasta tentu lebih memilih mengenakan “surcharge” pada harga rokok karena lebih mendatangkan keuntungan, meskipun tidak mendorong orang untuk berperilaku sehat.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Print Friendly, PDF & Email
line