Pemerintah Tak Serius Batasi Rokok

Suara pembaharuan, 1 Maret 2014

Pemerintah dinilai tak serius mengendalikan konsumsi rokok yang membahayakan kesehatan dan mengancam masa depan generasi mendatang. Hal itu terbukti dari aturan pembatasan dan larangan merokok yang tidak ditegakkan secara maksimal.Pemerintah diingatkan untuk tidak takluk di hadapan industri atau produsen rokok yang saat ini gencar menolak aturan pembatasan secara ketat konsumsi rokok. Pemerintah justru harus mengeluarkan kebijakan yang melindungi kesehatan masyarakat secara rakyat dan menegakkannya tanpa kompromi, terapa fcatea dengan intervensi industri.Demikian disampaikan Koordinator Solidaritas Advokat Publik untuk Pengendalian Tembakau di Indonesia Tubagus Haryo, di Jakarta, Jumat (28/2). Dia merujuk sejumlah peraturan daerah (perda) larangan merokok di tempat umum yang tidak jalan, RUU Pengendalian Dampak Tembakau bagi Kesehatan yang tak kunjung selesai pembahasannya di DPR sejak 2004, hingga Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tak kunjung diratifikasi.

 

Terkait RUU Pengendalian Tembakau, Tubagus melihat ada sikap inkonsisten dari wakil rakyat. Dia curiga ada intervensi produsen rokok selama proses pembahasan. RUU ini pun kandas dua tahun silam tanpa penjelasan.Namun, akhir tahun lalu muncul RUU Pertembakauan yang diinisiasi Badan Legislasi DPR, dan masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014. Ironisnya. RUU ini dinilai justru ingin menghapus upaya pengendalian tembakau.Tubagus khawatir, RUU yang baru ini dimanfaatkan sebagai “mesin uang” bagi para politisi di Senayan, sebagai modal menjelang pemilu tahun ini. Caranya, DPR mempercepat pembahasannya, untuk mengakomodasi kepentingan kalangan industri/produsen rokok.Tubagus mengungkapkan, sejumlah pasal dalam draf RUU Pertembakauan mengarah pada sikap pro terhadap industri rokok, dan sebaliknya memperlemah upaya pengendalian konsumsi rokok, serta mengancam langkah pemerintah yang segera meratifikasi FCTC.

 

Menurut Tubagus, dari sisi pemerintah, hanya Kementerian Kesehatan yang tampak serius terhadap pengendalian dampak tembakau terhaclap kesehatan. Untuk itu, dia berharap Presiden mengambil alih upaya membatasi konsumsi rokok, antara lain mempercepat ratifikasi FCTC.Hingga saat ini, sudah 177 negara anggota Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meratifikasi FCTC, yang mewakili sekitar 87,9 persen populasi dunia. Indonesia salah satu dari delapannegara yang belum, seperti Andorra, Eritria, Liechtenstein, Malawi, Somalia, dan Zimbabwe. Di Organisasi Kerjasama Negara Islam OKI), Indonesia dan Somalia yang belum meratifikasi. Di Asia Pasifik, Indonesia satu-satunya yang belum meratifikasinya. Secara terpisah, anggota Komisi IX dari Fraksi PDI-P Surya Chandra Surapati mendukung percepatan ratifikasi FCTC. “Jika tidak ada penanggulangan sejak dini, diperkirakan jurnlah PTR (penyakit terkail rokok) ini terus meningkat dan menyerap pembiayaan terbesar di era BPJS Kesehatan. Anggaran kesehatan dinaikkan sampai 5 persen dari total APBN pun tidak ada artinya, jika penggunaannya lebih banyak untuk mengobati penyakit terkait rokok,” tuturnya, Sabtu (1/3).

 

Print Friendly, PDF & Email
line