Giant Pack of Lies: Menguak Mitos Industri Rokok

Tidak bisa dimungkiri bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk keempat terbesar di dunia adalah target pemasaran berbagai produk. Tak terkecuali bagi industri rokok.Pada saat negara-negara maju semakin mempersempit ruang gerak industri rokok, hal itu tidak terjadi di Tanah Air. Disinsentif industri rokok dilakukan negara maju, mulai dari pengenaan pajak dan cukai yang tinggi hingga memperketat promosi.Di Indonesia, dengan alasan banyak masyarakat yang masih bergantung pada industri rokok, keinginan untuk memberi pembatasan pun menjadi terbelah. Masih segar dalam ingatan, kasus raibnya pasal dalam Undang-Un-dang Kesehatan Tahun 2009. Hilangnya ayat tembakau itu berpotensi menguntungkan industri rokok dan hingga kini kasusnya turut hilang tak terdengar.Dalam bukunya Giant pack of Lies, Mardiyah Chamim, penulis dan editor sejumlah buku, menyangsikan banyak masyarakat Indonesia akan sengsara jik.i industri rokok dipersempit. Dalam bukunya, ia pun membeberkan sejum-l.ih studi yang membuktikan bahwa industri rokok hanya memperkaya pemilik modal. Sedangkan, sisanya hanya berputar-putar dalam kemiskinan.

Riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI) menunjukkan, pada 2000-2006, upah bulanan pekerja industri rokok berada di bawah rata-rata upah buruh industri makanan dan industri lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Lalu, riset penelitian Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) dan LDFEUI mengungkapkan, buruh tani tembakau di Kendal, Jawa Tengah, hanya diupah Rp 15.899 per hari atau Rp 413.374 per bulan. Angka tersebut tak sampai separuh upah minimum setempat yang besarnya Rp 883.699,9.Menurut Mardiyah, faktanya memang ada 10 juta tenaga kerja, mulai dari petani, buruh linting, pedagang, tenaga kreatif media, sampai periklanan, yang dikatakan “hidupnya tergantung dari rokok”. “Tapi, bohong besar jika ada yang mengaku bahwa pekerja periklanan dan pedagang kelontongan hanya bergantung pada industri rokok,” paparnya.Meski bukan perokok, ia menuturkan bahwa dia kini merupakan bagian dari masyarakat yang telah kecanduan nikotin. Survei Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, pemuda pecandu rokok terus mengalami peningkatan.

Jika pada 1995 perokok remaja tercatat sebanyak tujuh persen, pada 2010 angkanya melonjak menjadi 19 persen. Naik hampir tiga kali lipat. Hasil survei yang lebih mencengangkan ternyata datang dari remaja perempuan. Jika pada 1995 tercatat 0,3 persen remaja perempuan merokok, pada 2010 jumlahnya menjadi 1,6 persen. Terdapat kenaikan lebih dari lima kali lipat.Fakta miris juga disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Bidang Politik Kebijakan Kesehatan Bambang Sulistomo. Beberapa waktu lalu, ia berkunjung ke beberapa daerah yang menjadi tempat tinggal para petani tembakau di Indonesia.Ia pun bertanya pada 50 keluarga petani tembakau soal siapa saja yang merokok. Hampir semua kepala keluarga petani tembakau merokok setiap harinya. Namun, ternyata mereka mengabaikan kebutuhan makanan yang bergizi di keluarganya. “Mereka mampu beli tembakau, tapi tak mampu beli telur,” paparnya.Hasil survei pada 2009 juga menunjukkan, rumah tangga termiskin yang terperangkap konsumsi rokok sebanyak 68 persen. Sebanyak tujuh dari 10 rumah tangga di Indonesia memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. Serta 57 persen (enam dari sembilan) rumah tangga termiskin memiliki pengeluaran untuk membeli rokok. (U td wulan tuning palupi
By. wulan tuning palupi

Print Friendly, PDF & Email
line