Sesudah Panen Datang Penyakit Kelamin

”Sangat memprihatinkan, kasus IMS (infeksi menular seksual) meningkat usai panen tembakau,” kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Dinas Kesehatan Kabupaten Temanggung, Edi Rakhmatto. Demikian berita yang dimuat sebuah koran Yogyakarta pada 13 November yang lalu.

Kali ini saya tidak akan membahas masalah tembakaunya, tetapi meningkatnya kasus penyakit kelamin pasca panen. Hal ini mengingatkan kebiasaan di zaman penjajahan dulu yang banyak terjadi di daerah pertanian tebu. Sehabis musim giling dan habis gajian, pihak pabrik “menghibur” para pekerja dan petani tebu dengan mendatangkan tayuban, perjudian dan menyediakan minuman keras (arak). Para buruh dan petani yang sedang mengantongi banyak uang akan membelanjakan uangnya untuk berjudi, mabuk-mabukan, mencari kepuasan seks dengan penari tayuban.

Uang habis kembali, lenyap begitu saja dan keluarga di rumah tidak banyak kebagian. Akibatnya, petani dan buruh akan tetap miskin yang kemudian mudah dimanipulasikan dengan iming-iming pinjaman uang yang dibayar dengan hasil pertanian. Tentu saja harganya ditetapkan oleh pabrik. Posisi tawar mereka tetap tidak ada.

Kebiasaan petani tembakau di Temanggung itu nampaknya mirip dengan kebiasaan zaman dulu. Ketika mereka sedang euforia mengantungi sejumlah besar uang, mereka dirayu untuk membelanjakannya di tempat pelacuran (dan mungkin juga untuk hal-hal mubazir lainnya), dengan akibat terkena penyakit kelamin dan keluarga di rumah tidak banyak lagi mendapat bagian.

Lebih menyedihkan karena mereka kemudian juga harus mengeluarkan uang untuk biaya pengobatan selain juga kemungkinan menularkan penyakitnya itu kepada isterinya yang setia di rumah. Menjelang musim tanam mungkin sudah tidak cukup lagi modalnya, sehingga terpaksa berutang kepada orang lain. Mungkin tengkulak, mungkin pabrik pembeli hasil pertanian mereka. Tentu mereka harus dibayar dengan hasil pertaniannya di musim panen mendatang. Dengan harga yang ditetapkan oleh tengkulak atau pabrik. Tidak ada kekuatan menolak karena sudah terlanjur berhutang.

Sekali lagi, saya tidak mempersoalkan masalah tembakaunya. Tetapi gambaran seperti ini bisa terjadi pada bidang-bidang lain ketika petani atau pekerja tergoda untuk membelanjakan uang hasil jerih payahnya untuk kegiatan yang mubazir dan melupakan kesehatan dirinya, dan kepentingan anak isterinya. Hal semacam itu pernah terjadi di daerah-daerah yang rakyat pemilik tanah digusur untuk pembangunan, dengan imbalan pengganti harga tanah yang mungkin tidak terlalu besar.

Bagi rakyat kedil pemilik tanah semacam itu, menerima uang yang mendadak besar jumlahnya, dapat mengalami kejutan budaya (cultural shock). Akibatnya sering mereka membelanjakannya secara tidak benar yang kemudian habis tanpa bekas. Hal seperti itu, misalnya, pernah terjadi di Lhok Seumawe ketika Mobil Oil dan Pupuk ASEAN mulai membuka pabrik di sana. Juga di Senggigi, Lombok, ketika pembangunan hotel-hotel besar bermunculan.

Kejutan budaya akibat mendadak menerima uang dalam jumlah besar dapat terjadi karena pemerintah daerah, atau LSM yang konon peduli kesejahteraan rakyat, tidak membantu melakukan penyiapan mental sejak sebelumnya. Ungkapan Kepala Dinas Kesehatan Temanggung mengenai meningkatnya penyakit kelamin seusai panen tembaku tidak banyak artinya jika tidak diikuti dengan langkah untuk mencegah kejadian serupa di kemudian hari.

Pendidikan, informasi dan penyadaran harus dilakukan, bukan saja oleh dinas kesehatan, tetapi juga oleh dinas yang lain dan LSM serta partai politik yang konon membela nasib petani tembakau, dan rakyat kecil pada umumnya. Partai-partai politik jangan hanya ingat rakyat kecil ketika menjelang pemilu saja. Para pendidik agama, ustadz-ustadz, khatib-khatib, dapat berperanan dan tidak hanya mengingatkan rakyat tentang kewajiban menjalankan agama sebatas pada ritus-ritus saja.

Kartono Mohamad
Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Kartono Mohamad Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI)

Print Friendly, PDF & Email
line