‘Awas Rokok’

 Investor Daily Indonesia 28 Februari 2014

Tahukah Anda jika rokok merupa kan pembunuh paling keji di negeri ini? Rokok setiap tahun merenggut 239 ribu nyawa orang Indonesia. Berarti, setiap hari lata-rata 655 orang meregang ajal gara-gara rokok. Biaya yang ditimbulkan rokok pun sangat besar. Pemerintah dan masyarakat harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 186 triliun untuk mengobati dan menangani berbagai penyakit yang diakibalkan rokok.Di sisi lain, Indonesia merupakan surga bagi industri rokok. Setiap tahun, berdasarkan survei Badan Pusat Statis-tik (BPS) dan Kementerian Kesehatan, terdapat 265 miliar batang rokok yang diproduksi pabrik rokok di Tanah Air. Kepulan asap rokok menghasilkan uang beredar sekitar Rp 250 triliun per tahun. Tentu saja uang yang dihasilkan industri rokok tak sebanding dengan bahayanya. Juga tak sepadan dengan penerimaan negara yang dihasilkannya. Penerimaan negara dari cukai rokok rata-rata hanya sekitar Rp 62 triliun per tahun.

 

Yang mencemaskan, jumlah perokok di Indonesia dari tahun ke tahun cende-rung meningkat. Bahkan, berdasarkan data yang diterbitkan Lembaga Demo-grafi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI), Southeast Asia Tobacco Control Alliance, dan Komisi Nasional Pe-ngendalian Tembakau, Indonesia meru-pakan negara dengan jumlah perokok terbanyak di dunia setelah Tiongkok dan India. Pada 2012, diperkirakan terdapat 62,3 juta perokok di Indonesia, naik dari tahun sebelumnya 61,4 juta perokok. Tragisnya, 30,7 juta penduduk Indonesia adalah perokok usia anak-anak. Jumlah mereka naik sekitar 17% per tahun. c c Berkaca-pada-.angiea-angkirtefsebuto kita dengan. lantang bisa mengatakan bahwa rokok sudah menjadi ancaman nyata bagi kelangsungan masa depan bangsa ini. Indonesia sudah masuk ka-tegori ‘awas rokok’. Gagai membebaskan diri dari kepulan asap rokok berarti gagal mewujudkan impian menjadi negara hebat. Itu karena rokok —yang dalam setiap batangnya mengandung 4.000 zat beracun mematikan bukan hanya menjadi mesin pembunuh, tapi juga menurun-kan kualitas hidup pecandunya.

 

Tanpa upaya yang jelas, nyata, dan komprehensif dalam menekan produksi, peredaran, dan konsumsi rokok, Indonesia akan kehilangan kesempatan menik-mati bonus demograli -masa-masa di mana penduduk suatu negara didominasi warga usia produktif. Membebaskan Indonesia dari rokok bukan semata tugas pemerintah, melainkan tugas segenap komponen bangsa.Membebaskan Indonesia dari ceng-keraman rokok harus dimulai dari niat yang sama bahwa rokok lebih banyak bahayanya ketimbang manfaatnya. Rokok memang mampu menghidupi jutaan orang, dari mulai petani cengkih dan tembakau, industri kertas dan kemasan, penjual, hingga karyawan pabrik rokok. Rokok juga mendatangkan penerimaan negara dalam bentuk cukai. Namun, se-kali lagi, rokok adalah pembunuh yang amat kejam. Rokok juga bisa membuat orang jatuh miskin, bahkan hanya dengan membeli dan mengisapnya. Rokok berkontribusi 10,08% terhadap kemis-kinan, paling tinggi setelah komoditas pangan.

 

Kita prihatin terhadap kemajuan yang dicapai pemerintah dalam mengurangi produksi, peredaran, dan konsumsi rokok. Sulit untuk menolak anggapan bahwa pemerintah cenderung mendua dalam menyikapi persoalan rokok. Di satu sisi, pemerintah gencar mengampanyekan antirokok kepada masyarakat. Tapi, di sisi lain, pemerintah juga selalu mematok target penerimaan cukai rokok yang tinggi dalam APBN.Tak mengherankan jika hampir tak ada kebijakan pemerintah yang tegas dalam mengurangi produksi, peredaran, dan konsumsi rokok.Ada kesan kuat bahwa pemerintah selain berkepentingan mengamankan penerimaan APBN dari cukai rokok—juga kesulitan melobi industri rokok dan petani tembakau. Dengan dalih menyelamatkan tenaga kerja, petani, dan pertum-buhan ekonomi, pemerintah seperti tak berani memilih. Itu sebabnya, perda larangan merokok di sejumlah daerah seperti macan kertas, tampak garang tapi tak ada law enforcement-nya. Celakanya, pemerintah tak punya konsep yang matang untuk memfasilitasi konversi industri rokok ke industri lain atau konversi tanaman tembakau ketanaman lain:

 

Pemerintah ternyata juga gagal me-yakinkan DPR. Jangan heran jika sejauh ini pemerintah baru berani mengimple-mentasikan Peraturan Pemerintah (PP) No 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Zat Adiktif Produk Tembakau untuk Kesehatan, yang antara lain hanya mewajib-kan peringatan bahaya merokok dalam bentuk gambar pada iklan media elektronik dan outdoor. Pemerintah belum berani meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Padahal, dengan meratifikasi FCTC, pemerintah punya dasar lebih kuat untuk mengurangi produksi, peredaran, dan konsumsi rokok dari hulu hingga hilir.Di sinilah pentingnya kita menyadar-kan pemerintah bahwa suka atau tidak suka, pilihan pahit harus diambil. FCTC harus segera diratifikasi. PP 109/2012 harus dipertajam. Konsep konversi industri rokok ke industri lain harus dibuat. Mengurangi produksi, peredaran, dan konsumsi rokok adalah keputusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Itu jika kita menghendaki bangsa Indonesia yang sehat, beradab, dan sejahtera.

Print Friendly, PDF & Email
line